How Trichotomy of Control Works on Me
Beberapa waktu yang lalu saya sempat mengikuti pemilihan calon Duta Generasi Berencana kota Magelang tahun 2019. Dimulai dari seleksi tahap pertama hingga malam grand final sudah saya lalui semua. Dari awal saya memang pede dengan kemampuan saya mengenai materi-materi seputar Generasi Berencana — seks pranikah, pernikahan anak, dan NAPZA. Di malam grand final, saya tersenyum lebar dengan percaya diri melangkah diatas panggung yang langsung disapa oleh blitz kamera dari kanan, kiri, dan depan. Terlihat manis dengan dress batik dan high-heels, semua mata tertuju pada saya. Saya adalah ratu malam ini, pikir saya pada saat itu. Meskipun hanya sebentar namun saya puas sekali sudah berhasil menguasai panggung. Di belakang panggung, teman-teman saya sibuk mondar-mandir sambil menaruh tangan mereka diatas dada — seolah-olah jantung mereka akan copot — pada saat itu. Berkali-kali saya mendengar keluhan dan betapa groginya mereka sesaat sebelum kami para finalis kembali keatas panggung. Saya tersenyum sebentar mengamati keriuhan di belakang panggung lalu memejamkan mata sambil beberapa kali berkata dalam hati,
“It will be terrible, but it’s okay.”
Di pertengahan acara, saya harus menerima realita bahwa saya tidak bisa melanjutkan kompetisi karena saya tidak cukup qualified untuk masuk ke babak selanjutnya. Tidak ada mimik kemarahan tergambar di wajah saya sedikitpun pada saat itu. Detik-detik terakhir setelah mengetahui bahwa saya tidak dapat melanjutkan kompetisi ke babak selanjutnya, disitulah saat dimana saya tersenyum sangat lebar dan juga memastikan bahwa saya harus tetap tampil cantik di akhir lengsernya kekuasaan saya sebagai ratu diatas panggung sembari menyemangati teman-teman saya yang lolos ke tahap penilaian selanjutnya. Setelah kembali ke belakang panggung, saya mendapati raut wajah sedih, marah, dan kecewa dari teman-teman saya yang tidak lolos.
Ada finalis lain yang heran melihat saya bisa tetap tersenyum dan ceria bahkan setelah hasil keluar, lho? Memangnya saya harus ngapain? Dari awal kompetisi, saya hanya fokus pada hal-hal yang ada dalam kendali saya saja: bagaimana saya berlaku, bagaimana saya berkomunikasi, bagaimana saya berpikir. Dengan berfokus hanya pada hal-hal yang bisa saya kontrol, saya selalu mengusahakan yang terbaik pada saat mengikuti tes-tes yang diwajibkan tanpa dibebankan dengan bayang-bayang hasil akhir karena saya sadari betul bahwa hasil akhir kompetisi ini tidak sepenuhnya ada didalam kendali saya. Perihal partisipasi saya dalam pemilihan Duta Generasi Berencana ini, saya membagi menjadi tiga komponen yaitu hal-hal yang ada dibawah kendali saya, hal-hal yang sebagian ada dibawah kendali saya, dan hal-hal yang ada diluar kendali saya. Dapat dilihat seperti dibawah ini:
Sepenuhnya ada dalam kendali saya:
- Hal-hal yang saya pikirkan ketika berkompetisi untuk Duta Genre 2019.
- Bagaimana saya mempersiapkan diri untuk kompetisi ini.
- Apa yang menjadi fokus saya dalam mengikuti kompetisi ini, saya tidak menggantungkan harapan pada hasil akhir.
Sebagian ada di dalam kendali saya:
- Respon yang saya tunjukan ketika saya harus mengikuti serangkaian tes.
- Bagaimana saya bersikap pada saat saya mengikuti serangkaian tes.
Ada diluar kendali saya:
- Tes-tes apa saja yang saya terima.
- Bagaimana para juri memandang dan berpikir tentang saya.
- Betapa baiknya skill finalis lain selain saya.
- Apakah saya bisa menjadi juara atau tidak.
Dengan membagi komponen menjadi tiga bagian, ini mempermudah saya untuk tetap tenang dan tidak khawatir. Meskipun saya cukup pede dengan pengetahuan saya mengenai materi-materi Generasi Berencana, namun sedari awal yang saya tanamkan dalam pikirkan tetap sama,
“It will be terrible, but it’s okay.”
Bagi seorang defensive pessimist, saya akan selalu menanamkan pemikiran-pemikiran menyeramkan ketimbang harus menelan realita yang nantinya tidak siap saya hadapi; ilusi skenario-skenario menyenangkan yang saya ciptakan sendiri didalam pikiran. Ketika skenario menyenangkan yang menjadi realita, saya tidak mengalami kerugian. Namun ketika skenario menyeramkan yang terjadi, saya sudah siap untuk menghadapinya tanpa perlu membuang-buang waktu untuk memikirkan mengapa hal menyeramkan terjadi didalam hidup saya.
Mengusahakan yang terbaik yang bisa saya lakukan dalam mengikuti kompetisi menjadi fokus utama saya. Tetapi saya tidak bisa memaksa para juri untuk menilai saya seperti apa yang saya mau. Sehingga saya tidak menghabiskan waktu untuk berpikir bagaimana caranya membuat para juri bisa menyukai saya, tetapi kesiapan materi, gesture tubuh yang baik, etiket dan kelancaran berbicara didepan orang banyak. Saya tidak akan menaruh fokus pada sesuatu yang tidak bisa saya lakukan — virtue — a good quality way of behaving. Dengan berfokus pada hal-hal yang bisa saya kontrol, saya tidak menggantungkan kebahagiaan dan harapan pada hasil akhir sehingga apapun hasil akhirnya saya tidak punya waktu untuk marah, karena hasil akhir tidak menentukan perasaan saya.
Saya percaya bahwa rasa marah timbul akibat ketidakmampuan orang dalam mengelola emosinya — hasil dari perbuatan bodoh yang ia lakukan , memiliki rencana dan pertimbangan yang salah serta menggantungkan kebahagiaannya pada sesuatu. Trichotomy of Control membantu saya mengeliminasi perasaan yang tidak perlu dan mengelola emosi dengan lebih baik demi menghindari kelelahan emosional dan emosi negatif yang bisa merusak diri saya sendiri. Meskipun saya tidak mendapatkan kemenangan, tetapi apapun yang sudah saya lalui sebagai finalis Duta Genre, tetap memiliki makna dalam hidup saya.